Kamis, 23 Januari 2014

about me























kuthukan ku

Apa aku harus percaya zodiak ? Percaya ramalan akan hari sial ? Tapi aku ini juga bukan dewa yang mampu menyulap segala hari adalah keberuntungan.  Kata orang hari baik dan hari buruk itu hanyalah kuasa Yang di atas sana bukan ? Jika hidup dan mati hanya dipisahkan garis tipis saja kemungkinan besar senang dan susah juga demikian. Berarti gembira dan sedih hanya terbatasi benang serambut dibagi sepuluh. Seandainya matahari dan bulan yang setiap kali terjaga bisa menafsir berapa jumlah tetes air mata dari sudut mataku ini mungkin sudah milyaran tetes bahkan mungkin tak terjumlah lagi. Hidupku layaknya orang dikutuk, tak pernah luput akan derita dalam setiap detikan waktu. Kalau memang ini bukan khayal belaka tidak salah jika selama ini kujalani hidup setengah hati. Setengah atau bahkan tiga per empatnya aku menyesal pernah dilahirkan di dunia. Pecahan air ketuban dan ari-ari yang terkubur 45 tahun yang lalu itu cuma mengotori bumi bukan? Menumpuk dosa pernah merusak rahim emakku yang di dirobek gunting operasi sesar. Sebentar aku mengambil nafas berat dan hendak menghembuskannya dengan keras berbarengan akan semua masalah hidup yang semakin mengeroposkan tulang punggungku. Baiklah demikian sebaiknya mataku tidak usahlah terbuka lagi, jantungku berhenti saja berdetak, tutup saja paru-paruku dengan selaput tebal supaya jangan ada gas O2 barang nol koma nol satu milimeter kubik pun yang masuk melalui rongganya, dan darah di tubuhku tak perlu mengalir lagi biarlah istirahat.
Sukmono tercengan mendapati bangkai manusia bersimbah darah dihadapannya. Mata lentik ditubuh kaku tak bernyawa itu menatap Sukmono dengan tajam. Bukan tatapan sayu yang mengungkapkan perpisahan namun tatapan dendam kesumat yang membara . Bibirnya menyungggingkan senyum kecil sekali lagi bukan senyum manisnya asmara tapi toh sebaliknya, senyum sinis dan cibiran yang ditujukan pada Sukmono , laki-laki yang telah membuat hatinya remuk bercampur debu tanah. Rukmini. Benar, nama gadis ayu berperawakan seksi itu Rukmini. Kekasih Sukmono yang menghabisi nyawanya sendiri karena menanggung kecewa beribu-ribu kaki dalamnya.
” Mas Sukmo tak pernah tahu bagaimana rasany dikhianati! Mas Sukmo tak                      pernah tahu tentang sakit hati. Mas Sukmo pergilah saja dengan wanita-wanita jalang di luar sana tak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tak pernah menjadi kekasih. Pergi!!!pergi!!!!hiks..hiks..”
Rukmini menyerbu Sukmono disela isak tangisnya.
Sukmono hanya polisi kroco yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus PSK di sudut kota yang lagi marak-maraknya. Sukmono menyamar menjadi preman untuk dapat tinngal dan menyelidiki kegiatan di sana. Entahlah dosa apa yang telah dibuat hingga akhirnya malah jadi salah paham begini.
”Duh Gusti….”
Sukmono merintih sembari merangkul jasad Rukmini.
Belum sampai 40 hari meninggalnya Rukmini, Pak Darmo bapaknya yang di kampung terkena serangan jantung mendengar kasak-kusuk bahwa Sukmono sudah murtad dan tinggal dengan para PSK. Pak Darmo langsung mati juga akibat mencerna berita tidak benar itu.
”Bapak!!! Maafkan Sukmo Pak!!! Maafkan Sukmo!!! ”
Pria muda berusia 25 tahun itu menjerit histeris.
Sukmono kerap sekali melayat orang tua rekan atau seniornya sebagai seorang polisi. Sukmono sangat kenal suasana duka dan kematian. Sukmono tidak asing dengan bau kemenyan dan bunga kanthil yang menusuk hidung, Sukmono sering membiarkan air matanya menetes sebagai ungkapan bela sungkawa untuk orang lain, tapi saat duka melanda diri dan keluarganya apakh Sukmo menangis? Air mata seakan sudah beku beberapa waktu lalu setitik pun tak mampu mencair keluar. Htinya mati rasa dan hambar tanpa bumbu apa-apa.
Pedalangan hidup sudah banyak dilaluinya. Sukmono telah memainkan banyak lakon. Lakon membohongi emaknya, lakon mencuri uang di bawah bantal Pak Darmo, lakon mengepung markas perampok kelas kakap, sampai lakon tinngal di daerah konflik antar suku pernah diperankan. Sukmono kerap sekali menjadi tokoh utama dari setiap lakon, tetapi hanya satu lakon yang belum pernah dimainkan sebelumnya. Lakon kematian yang menimpa Bapaknya dan Rukmini yang terjadi secara berentetan.
Waktu lima tahun berlalu.
Sukmono memutuskan untuk menikahi Sekar Hisyam (anak pejabat DPR ternama di ibu kota) demi melupakan kenangan pahit akan Rukmini. Sebelas tahun lebih dua bulan usia perkawinan Sukmono dengan Sekar , lagi-lagi nasib malang bertandang di ubun-ubunnya. Ternyata Sekar telah divonis menderita kanker rahim yang mematikan sejak lama. Takdir tak dapat dielakkan, Sekar akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di ruang rawat VIP  rumah saki5t tersohor di Amerika.
”Jika aku ini pembawa sial, kenapa harus orang-orang terdekatku yang Kau
ambil satu per satu duh Gusti, dosa apa yang telah hambamu buat ” rintihnya pelan sekali.
Kali ini Sukmono seperti orang linnglung dan kehilangan akal. Sukmono macam pengangguran, enggan bertugas di kepolisian lagi. Sukmono hidup menyendiri di rumah almarhum emaknya yang 100 hari yang lalu mati tabrak lari di pasar. Lilin hidupnya satu-persatu sudah padam dan sekarang tinggal sekerat cahaya kecil yang hampir padam. Sukmono selalu berusaha menyudahi pagelaran hidupnya namun seakan bumi tak sudi menerima mayat Sukmono yang tak pernah diuntung. Usahanya bunuh diri selalu gagal sampai pada usahanya yang terakhir menjatuhkan diri kedasar sungai hingga kakinya patah dan kini hidupnya tersiksa karena harus hidup dalam kelumpuhan di kursi roda.
Tak ada yang tahu pasti siapa Sukmono dari marga siapa dan dari liang mana asal usulnya. Tetapi semua harus tahu tentang aku , Sukmono. Sekarang aku masih Sukmono yang semakin rapuh. Hari ini dan entah sampai kapan aku duduk di kursi roda tanpa harapan. Setiap detik, setiap jam, setiap hari, bahkan sepanjang aliran Sungai Ciliwung kuhabiskan sisa nafasku menghadap keluar jendela dengan tatapn kosong dan renungan pedih. Aku ini bukan pegawai pemerintahan yang senang sekali korupsi bukan? Mengapa hidupku layaknya kena kutukan? Aku juga bukan orang penting yang menyombongkan kedudukan, gelar, kuasa, dan pangkat. Tetapi kenapa aku serasa terkena karma dari Yang di atas. Aku ini cuma polisi kroco yang miskin yang tak punya apa-apa untuk dibanggakan. Aku tidak pernah menggusur pedagang kaki lima di pinggir jalan. Aku tidak pernah melakukan penggarukan gubug gelandangan di penggiran kota dan bantaran sungai. Aku tidak pernah merazia pengamen, pengemis, dan gelandangan yang tidak berdosa. Aku tidak habis fikir akan nasib buruk yang menimpaku. Mungkinkah ini sisa kutukan dari moyangku yang hidup penuh kenistaan. Moyangku mungkin gembong teroris, atau dukun beranak, atau bahkan seorang narapidana berdasi yang menindas rakyat kecil secara halus atau bahkan disebut pembunuh berdarah dingin sehingga karmanya menimpa aku.
Aku selalu sendiri di rumah almarhum emak yang mulai reot, aku menjadi berang layaknya singa yang tak mau dicomot ekornya. Sebatang hidung pun tak ada yang ku bolehkan datang menjamahku. Bahkan Titin dan Bowo adik iparku sudah kuusir dari rumah agar tidak tertular imbas pewmbawa sial yang kusandang. Hingga suatu hari aku dipergoki membusuk dikursi roda dengan mengenaskan. Mataku masih belum terkatup masih tegar memandangi suasana luar. Tapak gang kecil di ujung jalan, aku melihat rohku sendiri berjalan menyusuri gang dan ketika tiba di belokan aku berjumpa dua makhluk yang seorang anggun berwajah molek dan bersinar dan yang seorang lebih dekat denganku seorang berjubah hitam menyeramkan. Masing-masing menawarkan kotak besar berukir. Dan aku tahu itu adalah peti mati.